|
Situs Berita Kristen PLewi.Net -Masyarakat Pasca Teror: Partisipasi Umat Kristiani Mewujudkan Perdamaian, Menciptakan
Jawa Timur yang Kondusif dan Menghormati Bulan Ramadhan
|  |
Sabtu, 01 Januari 2005 00:00:00 Masyarakat Pasca Teror: Partisipasi Umat Kristiani Mewujudkan Perdamaian, Menciptakan
Jawa Timur yang Kondusif dan Menghormati Bulan Ramadhan Seminar satu hari bertajuk “Masyarakat Pasca Teror: Partisipasi Umat
Kristiani Mewujudkan Perdamaian, Menciptakan Jawa Timur yang Kondusif dan Menghormati Bulan Ramadhan” ini menampilkan tiga
pembicara dengan latar belakang yang agak berbeda, yaitu: Pdt. Yohanes Bambang Mulyono (Pendeta Jemaat GKI Blimbing Malang)
yang pada seminar ini lebih memilih untuk menggunakan pendekatan psikologi beserta sharing mengenai kasus GKI Blimbing Malang
yang mengalami terror dan pengajuan perkara sampai Mahkamah Tinggi Negara; lalu Bambang Noorsena (pendiri Institute for Syriac
Christian Studies (ISCS) yang memperkenalkan diri sebagai pengamat hubungan antar agama; dan terakhir Prof. Dr. Hotman Siahaan
(Dekan FISIP Unair dan Direktur Lembaga Studi Perubahan Sosial/LSPS). Berikut adalah petikan ringkas seminar
tersebut.
Mengawali pembicaraannya, Pdt. Yohanes Bambang Mulyono (kemudian disingkat YBM), dengan menggunakan
pendekatan psikoanalitis, mengemukakan kembali pembagian klasik dari Sigmund Freud atas struktur kepribadian manusia, yaitu Id,
Ego, dan Superego. Ketiganya berinteraksi sebagai suatu proses psikologis yang terjadi pada setiap orang. Id mewakili dorongan
naluri yang kurang terorganisasi, serba buta, menuntut dan mendesak. Karena itu ia tidak berstruktur logis, amoral, dan
cenderung mencapai pemuasan kebutuhan naluri. Id tidak dapat menoleransi ketegangan dan bekerja untuk melepaskan ketegangan itu
sesegera mungkin untuk mencapai keadaan homeostatic. Sebaliknya ego berfungsi untuk mengendalikan, memerintah, dan mengatur. Ia
mengendalikan kesadaran, melaksanakan sensor, realistis, logis, dan merumuskan rencana-rencana secara matang. Dan superego
sebagai kode moral individu yang memutuskan nilai yang dipandang baik atau buruk, benar dan salah. Jadi superego berfungsi
untuk menghambat impuls-impuls Id dan menginternalisasikan nilai-nilai etika dan moral serta agama.
YBM
mengidentifikasikan teror sebagai dorongan dari id dan kegagalan bagian Superego untuk mengendalikan secara moral dan kegagalan
bagian Ego untuk bertindak secara rasional. Sementara dampak dari terror bisa makin menguatkan perasaan syndrome of minority,
khususnya terhadap umat Kristen yang secara intensif telah mengalaminya. Hal tersebut membuat umat Kristen cenderung untuk
mengembangkan berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Dengan menggunakan pendekatan teoritik Analisa Transaksionil dari Eric
Berne, YBM menilai bahwa umat Kristen yang masuk dalam situasi pasca terror adalah komunitas yang hidup dalam perasaan TIDAK
OKE. Dalam situasi ini, umat Kristen dapat mengembangkan sikap:
a. Aku Tidak OK – Kamu OK
b. Aku OK – Kamu Tidak
OK
c. Aku Tidak OK – kamu Tidak OK
d. Aku OK – Kamu OK
Demi menuju pada pemulihan diri secara
holistik, atau dengan bahasa Eric Berne memasuki situasi Aku OK-Kamu OK, maka berdasarkan perspektif Alkitab umat harus
menerima fakta iman kristiani tentang penebusan dosa tanpa syarat atas manusia melalui karya Allah di dalam Yesus Kristus
tersalib. Secara ilmiah, fakta iman ini sejajar dengan teori Carl Rogers tentang “Client-centered Therapy”nya, bahwa manusia
akan dipulihkan jika ia memperoleh penghargaan positif yang tidak bersyaratat (unconditional positive regard). Menjawab
pertanyaan peserta seminar tentang upaya gereja membantu korban trauma paska-teror, YBM mengusulkan untuk memulai tindakan
konseling pastoral yang harus dijalankan secara professional.
Dalam rangka pemulihan diri sebagai jemaat secara
ekumenis, YBM melihat perlunya umat Kristen untuk secara institusional gerejawi berdaya melawan perlakuan-perlakuan
diskriminatif berupa hambatan yuridis dan birokrasi pemerintahan terhadap pendirian gedung-gedung gereja, yang dirumuskan dalam
SKB Menteri Agama dan Departemen Dalam Negeri tahun 1969. Perlu juga dibangun suatu jaringan antar semua lembaga gereja dan
seluruh umat Kristen, rencana bersama, pembentukan visi dan misi bersama dengan prioritas utama mencabut SKB Menteri tahun 1969
tersebut, pembelaan terhadap masalah HAM dan advokasi di bidang hukum. Sehingga kelak di masa depan umat Kristen Indonesia
memiliki peran politis dan yuridis yang mantap dan diperhitungkan, sehingga suara kenabiannya bergema dalam lubuk hati semua
anak bangsa di negeri ini.
Sementara Bambang Noorsena (kemudian disingkat BN) sebagai pembicara kedua menilai bahwa
pernyataan-pernyataan normative masing-masing agama, misalnya umat Muslim berkata bahwa Agama islam tidak mungkin melakukan
terorisme karena islam adalah Agama perdamaian; sementara umat Kristiani berkata bahwa Kekristenan adalah Agama Damai sebab
Yesus Kristus sendiri adalah Raja Damai, tidak lain merupakan sebentuk mekanisme pertahanan diri sebagaimana telah dikemukakan
oleh Pdt. Yohanes Bambang sebelumnya. Bila menjurus pada ekstrimisme agama yang disebut fundamentalisme, kita dapat melihat
suatu cirri khas yang menyolok ada pada fundamentalisme masing-masing agama Kristen maupun Islam. Dalam fundamentalisme Kristen
terdapat suasana eskapis/lari dari persoalan dunia, sementara dalam fundamentalisme Islam makin Nampak wajah
politisnya.
Berbeda dengan banyak kalangan yang mengukuhkan keberadaan dari konflik islam-Kristen sebagai persoalan
real, BN berpendapat bahwa konflik itu lebih dipicu oleh akar konflik yang semata-mata penuh dengan kepentingan perebutan
kekuasaan politik dan ekonomi. Namun, di sisi lain, pada saat ini muncul suatu modus yang disebut mekanisme kambing hitam yang
diciptakan oleh orang-orang yang menolak konflik Islam-Kristen itu sebagai persoalan real. Mereka berpendapat bahwa konflik
agama itu semu dan menuduh adanya provokator di belakang semua perkara tersebut. Mis: pihak militer atau Soeharto sebagai
simbol orang-orang dari rezim Orde baru yang menaruh sakit hati dengan penguasa sekarang.
Sebagai catatan penting,
BN memandang perlunya umat Kristen mengembangkan tiga orto (orto=kelurusan), yaitu:
a. Ortodoksi (ajaran yang
benar/lurus)
b. Ortopraksis (praksis hidup yang benar/lurus)
c. Ortolatri (penyembahan yang
benar/lurus)
Di samping itu perlu dibiasakan lahirnya pembacaan teks-teks kitab suci yang non fundamentalis dan
penampilan-penampilan keagamaan yang ramah dan simpatik. BN mencontohkan fenomena dakwah a la KH Abdullah Gymnastiar atau yang
popular dipanggil sebagai “Aa” Gym (‘Aa” adalah panggilan orang Sunda untuk kakak laki-laki), maupun model pembeitaan mimbar
Agama Kristen gaya Roma Katolik di beberapa media televisi.
Menjawab pertanyaan peserta tentang masa depan agama, BN
berpendapat bahwa banyak orang dapat mengerti bila Agama dalam pengertian formal akan kehilangan daya tariknya. Namun tidak
demikian dengan spiritualitas. BN meyakini spiritualitas sebagai sesuatu yang akan selalu memiliki pesona tersendiri. Orang
mungkin tidak mencari agama, tetapi mereka pasti mencari spiritualitas. BN mencontohkan kita dapat belajar dari religi dan
religiositas Bung Karno yang inklusif, yang sekaligus juga dapat dijadikan sebagai referensi berharga oleh agama-agama di
Indonesia untuk merumuskan model spiritualitas yang kontekstual. Sejalan dengan itu, BN tetap mempercayai Pancasila sebagai
solusi bagi persoalan kebangsaan kita, sebab telah Nampak baginya bahwa Pancasila menyediakan suatu kerangka berpikir yang
merangkum seluruh kepelbagian corak keberagaman dan kedaerahan di Indonesia.
Sebagai pembicara ketiga, prof. Dr.
Hotman Siahaan (selanjtnya disingkat HS), menekankan sejarah panjang yang mengungkapkan relasi sulit yang terjadi dalam
hubungan antara Agama dan Politik. Dalam kekristenan, relasi itu mulai dirumuskan secara lebih sadar ketika Agustinus dari
Thagaste, yaitu salah seorang Bapa gereja kita yang hidup di awal Abad pertengahan, menulis bukunya yang termashyur, De
Civitate Dei (Kota Allah). Dalam bukunya itu Augustinus memberikan pendapatnya tentang posisi Agama (baca:kekristenan) di
tengah hidup publik/polis.
Untuk memberikan pertimbangan lain terhadap pendapat pembicara sebelumnya, yaitu Bambang
Noorsena, mengenai konflik Islam-Kristen sebagai sesuatu yang semu, HS mengutip kembali tesis dari Samuel Huntington mengenai
perang peradaban paska runtuhnya Uni Soviet, yang terjadi antara barat, islam, dan Konfusianisme. Dalam konteks pembicaraan
seminar kali ini tentulah konflik barat dan islam memperoleh sorotan utama. Dengan tesis ini dapat dipastikan bahwa menurut
Huntington, konflik yang bernada religious, yakni islam (kategori religious) dengan Barat merupakan sesuatu yang real
pula.
Namun rupanya HS tidak memutlakkan tesis Huntington ini. Dengan segera ia mengingatkan kita untuk tidak
terjebak dalam perdebatan tentang siapa pelaku terror yang sebenarnya. Dalam kapasitasnya sebagai seorang peneliti media, HS
mengajak kita untuk lebih waspada pada setiap pemberitaan media massa yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi suatu perkara
kekerasan. Media massa berpotensi besar malakukan apa yang disebutnya sebagai jurnalisme perang, yaitu suatu gaya peliputan
yang menyajikan fakta kekerasan dengan bahasa tampilan secara vulgar. Media massa dengan demikian, hendak menyampaikan pesan
kepada masyarakat pembaca bahwa kekerasan itu adalah alamiah, sebagai gambaran real dari diri kita sendiri. Bagi HS merupakan
sesuatu yang jauh lebih menguntungkan bagi semua pihak untuk menjawab pertanyaan: bagaimana menghindari simulacra, yaitu suatu
simulasi kekerasan yang kemudian kita anggap sebagai kenyataan yang sesungguhnya sebagai akibat dari gaya pemberitaan media
massa itu. HS menandaskan bahwa kegiatan produksi dan reproduksi kekerasan justru memperkuat simulacra, yang kemudian
melahirkan semacam hyper-reality, yakni realitas semu namun dipersungguh sehingga akhirnya dianggap sungguhan, hingga mampu
menggusur kenyataan yang sesungguhnya. Jangan-jangan persoalan kita yang sebenarnya justru adalah reproduksi kekerasan sebagai
akibat dari pemberitaan media massa ini. Maka soalnya menjadi bagaimana kita mampu memiliki kontrol atas pemberitaan media
massa.
Mengenai soal partai politik Kristen, HS berpendapat bahwa gejala menguatnya kecenderungan umat Kisten
membentuk partai-partai berlandaskan identitas kekristenan tersebut justru makin mempersempit ruang gerak umat Kristen sendiri.
Bagi HS, situasi akan menjadi lebih baik bila partai-patai itu berfusi dalam satu partai hasil konfederasi bersama
partai-partai agama yang lain. Arus pemikiran dan tindakan seperti ini juga memiliki makna yang menguntungkan bagi dialog
lintas iman yang memiliki keprihatinan untuk mengembangkan suatu teologi inklusif. Bila halnya menuju ke arah itu, kita dapat
memastikan bahwa agama masih dapat diharapkan memberikan jawaban yang relevan dan signifikan bagi penyelesaian persoalan kita
sebagai sebuah bangsa dan masyarakat ini.
*Seminar ini diselenggarakan oleh Partisipasi Kristen Indonesia Jawa
Timur, bertempat di Hotel Natour Simpang, Surabaya, 9 November 2002
dilihat : 556 kali |
| |